Halaman

Minggu, 25 September 2011

Dalam Keremangan Lampu Templok

Mujiati berurai air mata. Ibu Mulyono, siswa kelas III SMUN 2 Pare, Kabupaten Kediri, tak menyangka anaknya telah mencetak prestasi internasional dengan meraih medali perunggu dalam ajang Olimpiade Biologi di Brisbane, Australia. "Mulyono itu sejak umur satu bulan sudah ditinggal ayahnya yang meninggal karena kecelakaan," ujarnya, tersendat.

Mujiati sehari-hari bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh tani. Karena keterbatasan itulah, sejak berusia 2 tahun Mulyono harus tinggal dengan neneknya, Kardinem, di sebuah rumah berdinding bambu tanpa listrik. Untuk penerangan di kala belajar, Mulyono memanfaatkan lampu teplok yang terbuat dari kaleng bekas.

Mulyono lahir di pinggiran Kabupaten Kediri yang berdebu dan jalannya belum diaspal, tepatnya Dusun Ngampel Kurung, Desa Srikaton, Kecamatan Papar, Kabupten Kediri. Kini sehari-hari dia tinggal di desa itu bersama neneknya. Ibunya semula bekerja di Surabaya. Jarak antara rumah dan sekolahnya sekitar 25 kilometer --sehari-hari ditempuh dengan menumpang angkutan pedesaan. Sebelum mencapai jalan raya, Mulyono harus mengayuh sepeda pancal sejauh 6 kilometer dari rumah.

Mujiati mengaku kaget putranya menjadi juara internasional, sebab dia sendiri tidak tahu-menahu apa itu biologi, apa itu olimpiade. Sembari mengelap matanya yang berkaca-kaca, Mujiati mengisahkan karena ingin putranya terus sekolah, dia sampai tidak sempat mengurusi rumahnya yang nyaris ambruk.

"Semua caya curahkan untuk biaya sekolah anak saya dan merawat ibu saya yang berumur 100 tahun. Saat pertama masuk SMA, Mulyono sering telepon saya di rumah majikan minta dikirimi biaya. Untuk ongkos naik angkutan ke sekolah saja tiap hari Rp 2.500. Belum seragam, buku, dan yang lain. Untungnya, dia tidak pernah minta yang aneh-aneh. Bahkan uang saku saja tak pernah minta," kata Mujiati sembari mengatakan bahwa sepeda pancal yang dipakai Mulyono untuk mencapai jalan raya, sebelum mencegat mobil ke sekolah, adalah sepeda yang dibelikannya pada saat Mulyono masih duduk di kelas IV SD.

Pengalaman internasional Mulyono sebenarnya bukan hanya di Brisbane. Pada 2003, dia mengikuti kejuaraan serupa di Belarus. Namun, saat itu dia belum berhasil mempersembahkan medali bagi bangsa. Menurut tetangganya, sejak kecil Mulyono memang terlihat memiliki kecerdasan yang lebih dibanding anak-anak sebayanya. Sehari-hari tinggal dengan neneknya yang buta huruf serta fasilitas di bawah standar hidup normal tidak membatasinya untuk giat belajar. Yang lebih memprihatinkan, setiap kali turun hujan, rumahnya bocor di berbagai sudut. Untuk mengamankan buku pelajarannya, Mulyono terpaksa memasukkannnya dalam kantong plastik.

"Sepulang dari Belarus, Mulyono menyimpan uang sakunya saat mengikuti pembinaan di Bandung menjelang dikirim Australia. Uang itu diserahkan kepada ibunya untuk memasang listrik. Jadi, penerangan listrik yang ada di rumahnya sekarang murni dari swadaya Mulyono. Saat itu dia masih kelas II SMA," papar tetangganya, yang berkali-kali menyatakan turut merasa bangga karena anak dari desanya ada yang berhasil menjadi orang pintar.

Keberhasilan Mulyono menjejakkan kaki di Belarus juga membuat Bupati Kediri Sutrisno memerintahkan anak buahnya memperbaiki rumah Mulyono yang nyaris ambruk. Selain itu, Bupati juga meminta Mujiati, ibunda Mulyono, menjadi pembantu rumah tangga di kediaman Bupati hingga sekarang. Dengan perhatian itu, Mujiati tidak lagi membanting tulang sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya. Kini setiap saat ia bisa menemui Mulyono dan merawat ibunya yang sudah tua.

Kardinem, nenek Mulyono, menceritakan bahwa cucunya tidak begitu suka bergaul. Dia juga tidak pernah merepotkan orangtua dengan meminta sesuatu yang membutuhkan uang. "Wangsul sekolah nggih sinau (pulang sekolah, ya belajar). Saya tahu persis tabiatnya karena sejak kecil yang merawat adalah saya. Mulyono niko bocahe nrimo, tidak pernah neko-neko," kata Kardinem dengan bahasa Jawa karena sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia.

Isrowiyati, guru SMAN 2 Pare, Kabupaten Kediri, yang menjadi pembimbingnya, mengisahkan, Mulyono merupakan anak yang tidak begitu suka bergaul saat di rumah. Sepulang sekolah ia langsung belajar sendiri tanpa pernah mengikuti les privat. "Kepada saya dia mengaku, kalau keluar rumah paling hanya pada saat salat di musala," kata Isrowiyati.

Isrowiyati menyatakan bahwa semua sivitas akademika SMAN 2 Pare sangat bangga atas prestasi Mulyono. Terlebih, setelah lulus, Mulyono mendapat tawaran langsung dari ITB untuk melanjutkan pendidikan lewat jalur khusus. Saat ini Mulyono sedang mengurus persiapan untuk kuliahnya di Bandung--berbekal keenceran otaknya yang dibangun dari keprihatinan dan keterbatasan ekonomi yang menghimpit keluarganya. (Koran Tempo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar